Jacob Ereste
TINTAJURNALISNEWS –Dalam dinamika kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan, kebutuhan untuk berhenti sejenak dan merenung menjadi sangat penting. Perenungan, kontemplasi, atau dalam istilah Islam dikenal sebagai iktikaf, merupakan bagian dari laku spiritual yang tak hanya bermanfaat bagi ketenangan jiwa, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan antara kesadaran diri dan lingkungan sekitar.
Melalui perenungan yang tulus dan mendalam, seseorang diajak untuk bersyukur atas segala bentuk kenikmatan yang dirasakan, termasuk hal-hal kecil yang kerap dianggap remeh. Kesadaran ini menjadi benteng agar tidak terjebak dalam sikap tamak, rakus, maupun ambisi yang berlebihan.
Perenungan yang dilakukan secara berkala menjadi media evaluasi diri, menakar kemampuan jiwa dan raga dalam menghadapi beban hidup, serta menjadi sarana menata kembali niat dan langkah. Dalam perenungan itu, seseorang dapat melihat kelemahan dan kekuatan diri secara jujur, serta menyiapkan mental agar tidak terjerumus pada keputusan keliru yang berujung penyesalan.
Sebagaimana pesan kearifan lokal, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna,” perenungan menjadi langkah awal untuk menghindari tindakan tergesa-gesa yang bisa berakibat fatal bagi diri sendiri maupun orang lain.
Kontemplasi, yang sering disalahpahami sebagai praktik musyrik atau bentuk pemujaan tertentu, sejatinya adalah proses menenangkan dan mengosongkan pikiran dari beban emosional maupun tekanan duniawi. Ini sejalan dengan praktik iktikaf dalam Islam, di mana umat muslim mengasingkan diri di masjid untuk fokus pada ibadah dan introspeksi spiritual. Perbedaannya terletak pada tempat dan pendekatan; kontemplasi kerap dilakukan di alam terbuka atau tempat sunyi demi menciptakan keheningan batin.
Sayangnya, praktik seperti ini kadang dipandang negatif, terutama jika dilakukan di lokasi-lokasi yang dianggap “angker”. Padahal, suasana hening itu justru dibutuhkan untuk mencapai ketenangan batin yang mendalam, yang seringkali melahirkan kecerdasan spiritual tinggi—sebuah bentuk kemampuan yang tidak selalu dapat dijangkau oleh kecerdasan intelektual.
Sejumlah pemikir spiritual, seperti Sri Eko Sriyanto Galgendu dan Prof. Dr. Davik Karsidi, menyebut kemampuan tersebut sebagai “bahasa langit”—suatu bentuk pemahaman yang mampu menangkap isyarat atau tanda dari kejadian yang belum terjadi. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk ramalan, melainkan sebagai hasil dari kepekaan batin yang terasah melalui latihan spiritual.
Laku spiritual semacam ini sejatinya merupakan kebutuhan jiwa bagi manusia, bukan kewajiban semata. Ia membantu menjaga konsistensi nilai-nilai etika, moral, dan akhlak mulia sebagai bagian dari tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Setiap manusia, sekecil apa pun kesadarannya, memiliki sisi ilahiah yang dianugerahkan oleh Tuhan sebagai bagian dari fitrah penciptaannya.
Karena itu, merenung, berkontemplasi, atau beriktikaf bukanlah tindakan pasif, melainkan laku aktif yang menyempurnakan sisi kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin gaduh oleh ego dan ambisi, barangkali inilah saatnya kita kembali pada keheningan—untuk benar-benar mendengarkan suara hati dan cahaya nurani.
JACOB ERESTE