Gelper di Kota Batam
TINTAJURNALISNEWS –Kota Batam kini tak lagi sekadar dikenal sebagai kawasan industri dan investasi. Di balik hiruk-pikuk pembangunan, ada realitas mencengangkan yang luput dari perhatian publik dan seolah luput pula dari pantauan aparat: geliat gelanggang permainan (gelper) yang menjelma menjadi arena perjudian terselubung.
Hasil investigasi tim di lapangan mengungkap bahwa sejumlah lokasi gelper di Batam tak hanya menyuguhkan hiburan semata, melainkan telah menjelma menjadi tempat berlangsungnya praktik perjudian yang terselubung, namun terstruktur rapi.
Di lokasi-lokasi ini, perputaran uang tidak dilakukan secara terang-terangan. Namun, melalui sistem tukar-menukar koin, rokok, dan hadiah yang dapat dikonversi kembali menjadi uang tunai, permainan berjalan nyaris tanpa henti. Transaksi dilakukan senyap, tanpa intimidasi, dan yang paling mencolok tanpa gangguan dari aparat penegak hukum.
Tempat-tempat semacam ini mudah ditemui di berbagai kawasan seperti Nagoya, Batu Ampar, Lubuk Baja, hingga Tanjung Uma. Izin usaha sering kali tidak tampak jelas, bahkan sebagian besar tidak terpampang. Pengawasan terhadap usia pengunjung pun hampir nihil, membuka peluang bagi remaja untuk turut terlibat dalam praktik yang mencederai moral bangsa.
Lebih ironis lagi, operasional gelper-gelper ini berlangsung sepanjang hari. Tidak ada batas waktu. Tidak ada hari libur. Jika ini disebut hiburan, maka bentuk hiburan itu telah menjauh dari norma, etika, dan hukum yang berlaku.
Tak sedikit masyarakat yang terkejut ketika mendapati bahwa beberapa gelper yang sempat disegel sebelumnya kini justru kembali buka lebih terang-terangan, lebih berani. Seolah-olah penutupan hanyalah formalitas. Setelah badai kecil reda, semua kembali seperti semula. Tak ada efek jera. Tak ada pengawasan berkelanjutan. Yang tertinggal hanya tanya besar: di mana aparat?
Dugaan publik soal adanya beking kuat di belakang bisnis ini pun menyeruak. Nama-nama besar disebut-sebut terlibat, termasuk dugaan keterlibatan oknum warga negara asing. Skemanya bukan lagi pengusaha kelas teri, tapi jaringan rapi yang nyaris tak tersentuh hukum.
Sementara itu, penegak hukum di tingkat lokal terlihat lebih sibuk menjaga suasana “tenang”, ketimbang menegakkan aturan. Tak ada razia berarti. Tak ada penertiban berkelanjutan. Bahkan, tak ada penjelasan terbuka kepada masyarakat. Ketika publik bertanya, jawaban selalu mengambang. Ketika masalah mencuat, yang muncul justru pembiaran.
Situasi ini menciptakan ironi besar, terutama ketika pemerintah pusat sedang gencar menyuarakan semangat Asta Cita untuk membangun manusia unggul, memperkuat karakter bangsa, dan menegakkan hukum sebagai panglima. Tapi di Batam, generasi muda justru dibiarkan tumbuh dekat dengan praktik perjudian, di sekitar sekolah, rumah ibadah, bahkan di tengah pemukiman warga.
Jika hukum hanya berlaku untuk mereka yang lemah, maka tak ada lagi yang bisa diandalkan dari keadilan. Jika tindakan hanya dilakukan ketika sorotan publik membesar, maka yang sedang dijalankan bukanlah penegakan hukum, tapi sandiwara hukum.
Batam butuh jawaban. Rakyat butuh keadilan. Dan republik ini menanti: di mana penjaga konstitusi?