Ilustrasi Tinta Jurnalis News
TINTAJURNALISNEWS –Tahun ajaran baru 2025/2026 kembali menyisakan kegelisahan. Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang seharusnya menjadi pintu pembuka masa depan, justru menjadi tembok yang menghadang bagi sejumlah calon siswa.
Tak sedikit anak-anak yang sudah mempersiapkan diri dengan semangat dan harapan tinggi, kini harus menerima kenyataan pahit: tidak lolos seleksi. Padahal, dari sisi domisili dan nilai akademik, mereka merasa sudah memenuhi ketentuan.
Ironisnya, pengumuman kelulusan hanya menampilkan nama-nama yang lolos tanpa disertai penjelasan mengapa banyak anak lainnya tersisih. Ketidakjelasan inilah yang memunculkan keresahan baru di kalangan orang tua.
“Kalau tidak lolos negeri, lalu harus ke mana? Swasta mahal, kami tak sanggup. Apa solusinya?” ungkap seorang warga Tanjungpinang-Kepri saat ditemui wartawan Tintajurnalisnews pagi 29/6/25.
Sistem online yang digadang-gadang sebagai bentuk transparansi dan pemerataan justru menciptakan kebingungan. Orang tua mengaku bingung harus melangkah ke mana. Ada yang mencoba mencari sekolah swasta, ada pula yang hanya bisa menunggu informasi lanjutan jika memang ada.
Sayangnya, tak semua keluarga punya akses informasi, pemahaman sistem digital, atau kekuatan ekonomi untuk segera mencari alternatif. Mereka seperti terpinggirkan, padahal pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi.
Lebih memprihatinkan, belum tampak langkah aktif dari instansi terkait untuk mendampingi anak-anak yang tidak lolos. Tidak ada pendampingan psikologis, tidak ada arahan yang menyeluruh, bahkan informasi mengenai gelombang kedua pun masih samar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sekolah negeri kini hanya hak bagi segelintir? Di mana kehadiran negara ketika anak-anak mulai putus asa karena tak bisa sekolah?
Pendidikan seharusnya inklusif dan merata. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Jika sistem PPDB online menyisakan korban, maka sistem itu patut dikaji ulang. Bukan untuk menyalahkan, tetapi demi memastikan tak ada anak yang terabaikan.
Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang lolos, tapi: bagaimana nasib mereka yang tidak? Apakah harus diam menerima nasib, atau akankah negara hadir membawa solusi?