Ilustrasi Tinta Jurnalis News
TINTAJURNALISNEWS —Rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) membangun gedung perkantoran OPD setinggi tujuh lantai di kawasan Dompak, Tanjungpinang, senilai Rp250 miliar, mendapat sorotan tajam dari masyarakat.
Tokoh Kepri, Jusri Sabri, bersama Aliansi Gerakan Bersama (Geber) Kepri, menyatakan sikap tegas: proyek ini dinilai tidak urgen, tidak berpijak pada perencanaan yang sah, dan berpotensi membebani APBD di tengah pemulihan ekonomi masyarakat yang masih rapuh.
Konsolidasi penolakan ini digelar di Morning Bakery, Batu 7 Tanjungpinang, Minggu (29/6), sebagai bentuk respon kritis terhadap proyek multiyears tersebut.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi jika pembangunan tidak berpijak pada kebutuhan rakyat dan kondisi keuangan yang sehat, itu sama saja dengan mengabaikan keadilan anggaran,” tegas Jusri Sabri.
Menurut Jusri, proyek pembangunan gedung OPD tersebut tidak pernah tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Gubernur Ansar Ahmad dan Wakil Gubernur Nyanyang Haris Pratamura. Hal ini dinilai sebagai bentuk pelemahan sistem perencanaan daerah dan potensi cacat prosedural.
“Kalau proyek sebesar itu tidak ada dalam RPJMD, berarti sejak awal sudah melanggar prinsip perencanaan. Kebijakan publik tidak boleh lahir dari selera pribadi, apalagi hanya demi simbolik kekuasaan,” ujarnya.
Hasil dari konsolidasi tersebut melahirkan tiga poin pernyataan sikap resmi:
1. Meminta penundaan proyek pembangunan gedung OPD 7 lantai hingga kondisi keuangan daerah membaik dan dokumen perencanaan diperbaiki melalui mekanisme yang resmi dan partisipatif.
2. Mendorong optimalisasi gedung-gedung OPD yang lama, serta pemanfaatan aset milik daerah yang belum difungsikan secara maksimal.
3. Menyatakan kesiapan untuk menggugat secara hukum (class action/citizen lawsuit) jika Pemprov Kepri tidak merespon aspirasi masyarakat.
Koordinator Geber Kepri, Riswandi, S.Ag, turut menegaskan bahwa pihaknya bukan menolak pembangunan, namun kecewa dengan proses pengambilan keputusan yang tertutup dan minim partisipasi publik.
“Kami ingin memastikan, uang rakyat dikelola dengan benar. Bukan jadi proyek mercusuar yang indah di atas kertas, tapi tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat,” tegas Riswandi.
Menurutnya, pembangunan harus berakar pada partisipasi, perencanaan sah, dan manfaat konkret. Jika hanya demi kenyamanan birokrasi, maka rakyat berhak bersuara.
“APBD bukan mainan elit. Ini dana publik. Kalau rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaannya, maka kami akan terus bersuara dan, jika perlu, menempuh jalur hukum,” tutupnya.