Di Balik Penyitaan Bauksit Kepri: Antara Tegaknya Hukum dan Luka Sosial di Tanah Merah

Rahmat Nasution, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Tanjungpinang

TINTAJURNALISNEWS –Hamparan tanah merah di pesisir Tanjungpinang kembali senyap. Truk berhenti, ekskavator terdiam, dan debu bauksit yang biasa berputar di udara panas Kepulauan Riau perlahan mengendap.

Suasana itu pecah setelah tim terpadu Gakkum Kementerian ESDM turun ke lapangan. Aktivitas perbaikan lingkungan pasca-tambang pun seketika berhenti.

Sejak pemerintah menyita sekitar 4,25 juta metrik ton bauksit di wilayah Kepri, roda ekonomi lokal tersendat. Kini, rencana penyitaan tambahan 350 ribu metrik ton stokpile milik salah satu perusahaan asal Tanjungpinang menambah tegangnya situasi.

Langkah hukum tersebut diklaim sebagai tindak lanjut dari dugaan pelanggaran perizinan dan tata niaga hasil tambang. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang, stok bauksit itu kini berstatus barang milik negara (BMN) di bawah pengelolaan pemerintah pusat. Sebagian bahkan telah disiapkan untuk dilelang dengan estimasi nilai mencapai Rp1,4 triliun.

Satu sisi, langkah ini dinilai sebagai bentuk kepastian hukum. Namun di sisi lain, menimbulkan kecemasan sosial dan ekonomi bagi masyarakat di sekitar tambang.

 

Menegakkan Hukum di Tanah Bauksit

Bauksit telah menjadi komoditas strategis nasional. Sebagai bahan baku utama alumina, nilainya terus melonjak di pasar dunia. Sejak 2023, pemerintah memperketat tata kelolanya melalui larangan ekspor mentah dan kewajiban pembangunan smelter dalam negeri.

Namun, fakta di lapangan tak selalu sejalan dengan regulasi. Sejumlah stok bauksit ditemukan menumpuk di lokasi penimbunan tanpa kejelasan asal-usul dan izin produksi. Di titik inilah aparat penegak hukum bertindak melakukan pendataan, penertiban, dan akhirnya penyitaan.

Secara hukum, penyitaan berarti negara mengambil alih penguasaan fisik dan administratif atas barang bukti untuk kepentingan penyelidikan atau pemulihan kerugian negara.

Dalam konteks Kepri, langkah ini menjadi bagian dari upaya “membersihkan” rantai pasok mineral dari praktik tambang ilegal dan semi-legal yang selama ini kerap dikeluhkan publik serta aktivis lingkungan.

“Negara tidak boleh kalah dari ketidakpatuhan,” tegas seorang pejabat di Kemenko Perekonomian dalam konferensi persnya. “Namun penegakan hukum tetap harus menjamin rasa keadilan bagi masyarakat dan dunia usaha.”

 

Ketika Penertiban Menyentuh Ranah Sosial

Penegakan hukum sejatinya adalah langkah korektif. Namun di lapangan, batas antara penegakan dan penderitaan sosial sering kali begitu tipis.

Kita pernah menyaksikan fenomena serupa di sektor perkebunan sawit. Ratusan ribu hektare kebun rakyat ikut disita karena salah klasifikasi. Di atas kertas mereka dianggap melanggar, padahal telah mengelola tanah itu secara turun-temurun.

Pertanyaan yang sama kini muncul di Kepri: apakah penyitaan jutaan ton bauksit itu benar-benar memisahkan antara pelaku ilegal dan perusahaan berizin sah?

Tanpa verifikasi mendalam, langkah hukum berpotensi salah arah menyandera pekerja tambang, sopir, dan pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup dari sektor tersebut.

 

Gelombang Sosial di Garis Depan Tambang

Penertiban tambang membawa gejolak sosial yang nyata. Di Bintan dan Tanjungpinang, ribuan warga menggantungkan hidup pada aktivitas tambang: dari buruh, sopir truk, operator alat berat, pemilik warung, hingga penyedia jasa angkutan laut.

“Sudah tiga minggu saya tidak narik truk,” tutur seorang sopir lokal yang biasa bekerja dalam kegiatan reklamasi pasca-tambang. “Kalau begini terus, kami tidak tahu mau makan dari mana.”

Selain kehilangan mata pencaharian, potensi gesekan sosial pun meningkat. Sebagian pengusaha lokal merasa tidak dilibatkan dalam proses hukum, sementara kelompok pemerhati lingkungan menilai langkah pemerintah sudah tepat. Dua kepentingan ini bertemu di jalan sempit antara keadilan ekonomi dan tanggung jawab ekologis.

 

Kerugian Tersembunyi di Balik Penyitaan

Bagi perusahaan, penyitaan stokpile bukan sekadar perkara hukum, melainkan pukulan ekonomi besar. Ribuan ton bauksit yang telah ditambang tak dapat dijual, padahal biaya produksi sudah keluar.

Alat berat, kapal tongkang, dan pelabuhan menjadi aset menganggur yang tetap memerlukan perawatan mahal. Belum lagi kontrak ekspor yang batal, biaya hukum yang membengkak, serta citra usaha yang tercoreng.

“Investor membutuhkan kepastian hukum,” ujar seorang ekonom dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). “Jika penyitaan dilakukan tanpa transparansi dan mekanisme kompensasi yang proporsional, Kepri berisiko kehilangan momentum investasi mineral.”

 

Kalkulasi Untung dan Dampak bagi Daerah

Dari sisi fiskal, pemerintah pusat berpeluang memperoleh pemasukan besar dari hasil lelang bauksit sitaan. Namun, keuntungan itu akan kehilangan maknanya bila tidak dibarengi dengan strategi pemulihan sosial dan ekonomi.

Tanpa adanya program transisi tenaga kerja dan perlindungan bagi pelaku usaha kecil, efek domino penegakan hukum bisa sangat luas: pengangguran meningkat, tambang ilegal tumbuh kembali, dan konsumsi rumah tangga melemah.

Pengalaman dari berbagai daerah tambang membuktikan, penertiban tanpa arah pemulihan hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Pemerintah daerah Kepri perlu hadir dengan kebijakan nyata mendampingi pekerja yang terdampak, serta memastikan keseimbangan antara tegaknya hukum dan keberlanjutan ekonomi rakyat.

 

Menjaga Keseimbangan: Hukum, Ekonomi, dan Kemanusiaan

Penyitaan stokpile bauksit di Kepri adalah cermin dilema klasik negara penghasil sumber daya alam: bagaimana menegakkan hukum tanpa memutus nadi ekonomi rakyat.

Langkah tegas memang penting, namun harus diiringi transparansi data, kepekaan sosial, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu membuka informasi resmi mengenai volume, nilai, serta status hukum setiap stokpile, agar publik tidak terjebak dalam spekulasi.

Proses lelang bauksit pun harus berlangsung terbuka dan akuntabel, dengan prioritas kepada pelaku usaha yang patuh aturan dan memiliki rekam jejak lingkungan yang baik.

Di sisi lain, masyarakat dan pekerja tambang perlu dilindungi melalui pelatihan kerja alternatif dan program pemberdayaan ekonomi lokal. Karena di atas tanah merah itu, penegakan hukum sejatinya bukan sekadar tentang siapa yang bersalah tetapi bagaimana negara hadir untuk adil, tegas, dan manusiawi.