Wow! 44 Perusahaan Tambang Diduga Tak Jelas Keberadaannya, DPR RI Terima Laporan Resmi dari LI-BAPAN untuk Ditindaklanjuti

Ketua DPD Lembaga Investigasi Badan Advokasi Penyelamat Aset Negara, Ahmad Iskandar Tanjung

TINTAJURNALISNEWS —Dugaan hilangnya jejak 44 perusahaan tambang di wilayah Kabupaten Bintan Kepulajan Riau menuai sorotan tajam. Ketua DPD Lembaga Investigasi Badan Advokasi Penyelamat Aset Negara (LI-BAPAN), Ahmad Iskandar Tanjung, secara resmi melaporkan temuan tersebut kepada DPR RI.

Laporan ini memuat indikasi ketidakjelasan keberadaan puluhan perusahaan tambang yang diduga telah lama beroperasi namun tidak terlacak aktivitas maupun kontribusinya terhadap negara.

Menanggapi laporan itu, Sekretariat Jenderal DPR RI menyatakan bahwa laporan tersebut telah diterima dan diproses sesuai mekanisme yang berlaku. Dalam surat resmi yang ditujukan kepada Ahmad Iskandar, disebutkan bahwa suratnya kepada Pimpinan Komisi II DPR RI telah dicatat dan diteruskan untuk tindak lanjut lebih lanjut.

“Kami beritahukan dengan hormat, bahwa surat Saudara yang ditujukan kepada Pimpinan Komisi II DPR RI perihal laporan 44 perusahaan pertambangan tidak diketahui keberadaannya, telah kami terima dengan baik,” demikian kutipan isi surat dari Setjen DPR RI yang diterima LI-BAPAN.

Surat tersebut merujuk pada Pasal 72 huruf g dan Pasal 81 huruf j Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2019, serta mengacu pada Pasal 7 huruf g dan Pasal 13 huruf j Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI.

Laporan mengenai 44 perusahaan tambang ini bukanlah yang pertama disuarakan oleh Ahmad Iskandar. Sebelumnya, ia juga telah melaporkan dugaan raibnya Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) dari 44 hingga 63 perusahaan tambang kepada sejumlah lembaga negara, termasuk BPK dan instansi penegak hukum.

Dana yang seharusnya digunakan untuk keperluan reklamasi dan pemulihan lingkungan pasca-tambang tersebut, menurut laporan BPK, tidak lagi terlacak sejak tahun 2016 hingga 2020. Bahkan, nilai potensi kerugian negara disebut mencapai Rp168 miliar. Dana itu sempat terdeteksi berada di dua bank, yakni BPR Bintan dan BNI, namun kemudian tidak jelas ke mana raibnya.

“Kami menyambut baik langkah DPR RI yang merespons laporan kami. Ini menjadi sinyal bahwa ada perhatian serius terhadap persoalan yang kami angkat. Namun, kami tetap mendorong agar penelusuran terhadap keberadaan 44 perusahaan tambang ini dilakukan secara transparan dan menyeluruh,” ujar Ahmad Iskandar kepada media ini.

Ia menegaskan bahwa isu ini bukan hanya soal pencatatan administrasi semata, melainkan menyangkut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam negara. “Jangan sampai aset negara lenyap tanpa jejak. Ini soal masa depan lingkungan dan hak rakyat atas pengelolaan sumber daya yang adil,” tegasnya.

Kasus ini menambah daftar panjang tantangan dalam pengawasan sektor pertambangan. Ketidakjelasan status perusahaan-perusahaan tambang tidak hanya membuka celah bagi potensi pelanggaran hukum, tetapi juga menandakan lemahnya sistem pengawasan dan pengelolaan aset negara yang seharusnya strategis.