Ilustrasi Tinta Jurnslis News
TINTAJURNALISNEWS –Empat wartawan media online mengalami kekerasan brutal saat melakukan investigasi dugaan penyalahgunaan BBM subsidi dan tambang emas ilegal di Tanjung Lolo, Kecamatan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Mereka disekap, dianiaya, dirampok, dan diperas oleh kelompok yang diduga mafia setempat.
Keempat wartawan tersebut adalah Suryani (Nusantararaya.com), Jenni (Siagakupas.com), Safrizal (Detakfakta.com), dan Hendra Gunawan (Mitrariau.com). Mereka awalnya sedang mengumpulkan informasi terkait dugaan keterlibatan tangki BBM subsidi PT Elnusa Petrofin dan tambang emas ilegal yang disebut-sebut berhubungan dengan seorang pejabat lokal.
Namun, investigasi itu berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka menjadi sasaran aksi kekerasan.
Menurut keterangan yang beredar, para wartawan dianiaya, diancam dibakar hidup-hidup, dan dipaksa menyerahkan barang-barang mereka, termasuk laptop, telepon genggam, pakaian, dan peralatan lainnya. Bahkan, salah satu wartawan perempuan, Jenni, hampir menjadi korban kekerasan seksual.
Tak hanya itu, pelaku juga meminta tebusan sebesar Rp20 juta agar mereka dibebaskan. Jika tidak, mereka diancam akan dibakar dengan bensin atau didorong ke jurang tambang emas untuk menghilangkan jejak. Seorang pria yang diduga Wali Jorong Koto Tanjung Lolo turut memberikan ancaman bahwa laporan mereka tidak akan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Menanggapi kejadian ini, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) mengecam keras aksi keji tersebut. Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyatakan bahwa insiden ini adalah ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Ini tindakan biadab! Wartawan yang menjalankan tugas justru menjadi korban kekerasan oleh mafia tambang dan BBM subsidi. Kami mendesak Kapolri dan aparat di Sumatera Barat untuk segera menangkap pelaku, termasuk oknum yang terlibat!” ujar Wilson dalam pernyataan resminya, Minggu (16/3/2025).
PPWI juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan kepada para wartawan yang menjadi korban, agar mereka tidak mendapat ancaman lanjutan.
PPWI menilai bahwa jika kasus ini tidak segera diusut tuntas, maka bisa menjadi preseden buruk bagi dunia jurnalistik di Indonesia. Keberanian mafia dalam menantang hukum menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap wartawan.
“Hari ini empat wartawan menjadi korban, besok bisa siapa saja. Jika tidak ada tindakan tegas, maka kebebasan pers akan mati, dan masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang transparan,” tegas Wilson.
PPWI mengajak seluruh insan pers dan organisasi jurnalis untuk bersatu menuntut keadilan. Kini, semua mata tertuju pada langkah yang akan diambil oleh pihak kepolisian dan pemerintah. Akankah hukum benar-benar ditegakkan, atau justru mafia semakin berkuasa?***