Foto konferensi pers di kantor DJKI
TintaJurnalisNews –Hilirisasi kekayaan intelektual (KI) menjadi salah satu fokus utama pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM untuk mendukung peningkatan perekonomian nasional. Namun, upaya ini masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya di perguruan tinggi, yang menyumbang sekitar 60% dari total permohonan paten dalam negeri.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, mengungkapkan bahwa meskipun kontribusi perguruan tinggi dalam permohonan paten cukup besar, pemanfaatan paten tersebut di masyarakat maupun industri masih minim. “Kami mendorong universitas untuk tidak hanya berorientasi pada kuantitas, tetapi juga pada kualitas dampak paten bagi masyarakat dan industri,” ujar Razilu dalam konferensi pers di kantor DJKI, Jumat (10/1).
Kesenjangan Inovasi dan Kebutuhan Industri
Salah satu kendala utama yang dihadapi perguruan tinggi adalah kesenjangan antara inovasi akademik dan kebutuhan industri. Direktur Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia (UI), Chairul Hudaya, menjelaskan bahwa inovasi sering kali tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga sulit menarik perhatian industri.
“Untuk mengatasi ini, UI menerapkan konsep ‘belanja masalah’ dari industri, sehingga inovasi yang dihasilkan langsung menjawab kebutuhan nyata di lapangan,” kata Chairul. Pendekatan ini juga memungkinkan kolaborasi antara UI dan industri dalam menghasilkan KI gabungan.
Selain itu, Chairul menyoroti minimnya pemahaman para peneliti dalam menyusun dokumen paten atau drafting paten. Untuk mengatasi hambatan ini, UI mengadakan program sosialisasi, diseminasi, dan pendampingan langsung bagi para peneliti.
“Kami mendekati para peneliti untuk memahami kendala mereka, terutama dalam menemukan originalitas dan menyusun dokumen paten yang benar. Dengan cara ini, proses pendaftaran paten ke DJKI dapat lebih cepat dan minim kesalahan,” tambah Chairul.
Sistem Pembagian Royalti dan Hilirisasi KI
Tantangan lain yang dihadapi adalah kurangnya pemahaman tentang sistem pembagian royalti antara peneliti dan universitas. UI telah mengatasi hal ini dengan menerapkan kebijakan pembagian royalti 70% untuk peneliti dan 30% untuk universitas, sesuai dengan Peraturan Rektor Nomor 3 Tahun 2024.
Chairul mengungkapkan bahwa UI telah berhasil menghilirisasi 67 dari 787 paten yang didaftarkan, menghasilkan royalti sebesar Rp600 juta hingga Rp700 juta. Salah satu contoh sukses adalah alat bantu pernapasan “Covent-20” yang dikembangkan selama pandemi Covid-19. “Produk ini tidak hanya memberikan dampak finansial, tetapi juga dampak sosial yang signifikan,” jelasnya.
Digitalisasi dan Harapan Sinergi
Untuk menghadapi tantangan perkembangan teknologi, UI tengah mempersiapkan digitalisasi layanan KI, termasuk penyediaan situs yang memuat hasil-hasil KI dari dosen dan mahasiswa. Bahkan, pemanfaatan Artificial Intelligence sedang dikembangkan untuk membantu proses drafting paten dan analisis tren inovasi.
Chairul menegaskan pentingnya sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri untuk mendukung hilirisasi KI di Indonesia. “Kami ingin mendukung pemerintah mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui inovasi yang berdampak, sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” pungkasnya.
Hilirisasi KI tidak hanya menjadi peluang bagi perguruan tinggi untuk memberikan dampak nyata, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam meningkatkan daya saing bangsa di kancah global.