Tim kuasa hukum terdakwa
TINTAJURNALISNEWS –Sidang lanjutan kasus dugaan penyerobotan tanah dengan terdakwa Kakek Armin (75) kembali mengungkap fakta baru. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Sungailiat pada Senin (1/2/2025), tim kuasa hukum terdakwa menyoroti dugaan pemalsuan keterangan dokumen tanah yang berpotensi mengubah arah perkara.
Sidang kali ini beragendakan pembacaan pledoi dari tim kuasa hukum terdakwa. Mereka menegaskan bahwa perkara ini lebih tepat diselesaikan dalam ranah perdata, bukan pidana. Dalam pledoi yang diajukan kepada majelis hakim, kuasa hukum meminta agar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dibatalkan karena tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus ini.
Bujang Musa, S.H., M.H., selaku kuasa hukum terdakwa, menegaskan bahwa kliennya tidak pernah merampas tanah milik orang lain. Menurutnya, tanah yang dikelola Kakek Armin merupakan warisan dari orang tuanya, almarhum Tn. Sali, dengan bukti surat jual beli tahun 1967 serta keterangan saksi a charge maupun a de charge yang terungkap di persidangan.
“Berdasarkan fakta persidangan, tidak ada bukti konkret bahwa klien kami melakukan penyerobotan tanah. Bukti surat tanah yang diajukan jaksa diduga berasal dari pemalsuan keterangan dokumen tanah oleh pemohon surat,” ujar Bujang Musa.
Tim kuasa hukum juga menyoroti aspek kedaluwarsa dalam kasus ini. Berdasarkan Pasal 78 KUHP, perkara yang terjadi sejak 2010 telah melewati batas waktu penuntutan pidana dan seharusnya dianggap gugur setelah lebih dari 14 tahun.
Dalam persidangan sebelumnya, saksi Achmada mengaku memperoleh tanah tersebut sejak usia 13 tahun. Tim kuasa hukum menilai pengakuan ini justru menguatkan indikasi pemalsuan keterangan dokumen tanah.
“Bukti surat SPPFBT yang dibuat tahun 2010 atas nama Sul Ariyadi Syah tidak sah secara hukum. Sebab, pengakuan penguasaan tanah oleh Achmada yang kemudian dijual kepada Sul Ariyadi Syah terjadi saat Achmada masih di bawah umur, yang secara hukum tidak memiliki kapasitas legal untuk menguasai bidang tanah,” jelas Bujang Musa.
Sementara itu, saksi Roni, yang awalnya diperkirakan mendukung pelapor, justru memberikan keterangan yang membenarkan pengakuan terdakwa. Ia menyatakan bahwa tanah yang disengketakan memang milik Kakek Armin, bukan Achmada.
“Aneh memang, saksi yang seharusnya mendukung pelapor justru mengungkap fakta yang sebenarnya, yang sesuai dengan pengakuan terdakwa,” tambahnya.
Tim kuasa hukum menegaskan bahwa tanah tersebut telah dikuasai Kakek Armin sejak 1967 dan dikelola secara turun-temurun. Mereka menilai kasus ini sampai ke pengadilan akibat dugaan pemalsuan keterangan dokumen tanah yang diajukan dalam persidangan.
“Surat tanah yang diajukan jaksa mengacu pada dokumen kepemilikan dari Pak Armada, yang berbatasan langsung dengan tanah Kakek Armin. Padahal, tanda tangan Armin dalam surat tersebut diberikan saat Achmada datang ke rumahnya meminta tanda tangan untuk surat tanah temannya, Sul, tanpa menunjukkan atau menjelaskan lokasi tanah tersebut,” ungkap Bujang Musa.
Proses pengakuan tanah dilakukan melalui pemerintah desa, yang kemudian melakukan verifikasi dengan survei lapangan dan pemanggilan saksi sebelum menerbitkan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah.
Atas dasar tersebut, tim kuasa hukum yang terdiri dari Bujang Musa, S.H., M.H., Arianto, S.H., M.H., Indah Jaya, S.H., Siti Holila, S.H., dan Fendi, S.H., meminta majelis hakim untuk membatalkan dakwaan dan membebaskan Kakek Armin dari segala tuntutan.
Sidang ditutup dengan penundaan untuk memberikan waktu bagi majelis hakim mempertimbangkan pledoi yang telah disampaikan. Putusan akhir atas perkara ini dijadwalkan akan dibacakan dalam sidang berikutnya. “Harapan kami, majelis hakim dapat melihat fakta hukum yang ada dan memberikan putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan,” pungkas Bujang Musa.***