Pengadilan Negeri (PN) Tanjung di Kabupaten Tabalong
TintaJurnalisNews -Pengadilan Negeri (PN) Tanjung di Kabupaten Tabalong kembali menjadi sorotan dalam sidang kasus dugaan tambang ilegal batu emas hitam yang berlokasi di Bintang Ara (LCP). Kasus dengan Nomor Perkara 152/Pid.Sus-LH/2024/PN Tanjung ini, yang menarik perhatian luas masyarakat, menghadirkan sejumlah saksi kunci yang dipanggil untuk memberikan keterangan terkait jaringan di balik aktivitas penambangan ilegal tersebut.
Sidang yang telah berlangsung beberapa kali ini kian intensif. Dalam minggu ini, Pengadilan Negeri Tanjung menggelar sidang sebanyak tiga kali, yakni pada Senin, Rabu, dan Kamis (14/11/2024). Pada sidang pertama yang dijadwalkan pada pukul 10.00 WITA, terjadi penundaan hingga satu jam sehingga baru dimulai pada pukul 11.00 WITA. Keterlambatan tersebut tak menyurutkan antusiasme dari berbagai pihak yang ingin mengikuti proses persidangan, termasuk sejumlah media yang hadir untuk meliput jalannya sidang.
Namun, insiden terjadi saat beberapa wartawan dari berbagai media, seperti Buser86.id, Kopitv.id, GWIndonesia News, dan Fakta Desa, mengalami hambatan ketika hendak memasuki ruang sidang. Meskipun mereka telah mengenakan atribut lengkap seperti seragam Gabungan Wartawan Indonesia (GWI), kartu tanda anggota (KTA) media, dan KTA pengadilan, para wartawan tersebut tetap tidak diperbolehkan meliput jalannya sidang pertama. Menghormati proses pengadilan, Ketua Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) memilih untuk tidak memaksakan diri dan meninggalkan ruang sidang. Ia bersama sejumlah wartawan lain kemudian berkumpul di area belakang untuk berdiskusi bersama beberapa aparat kepolisian dan pengacara.
Sehari sebelum persidangan berikutnya, Ketua Pengadilan Negeri Tanjung memanggil Ketua DPD GWI Kalsel beserta beberapa anggotanya untuk memberikan klarifikasi terkait insiden pelarangan liputan tersebut. Ketua PN Tanjung menyatakan bahwa ia menerima laporan dari anggota pengadilan yang menyebutkan adanya larangan bagi media untuk meliput sidang terbuka ini. Menanggapi hal itu, Ketua DPD GWI Kalsel membenarkan kejadian tersebut, namun tanpa memberikan tuduhan spesifik mengenai pihak yang bertanggung jawab atas larangan tersebut.
Pada sidang lanjutan, awak media akhirnya diizinkan untuk masuk ke ruang sidang dengan ketentuan bahwa mereka hanya diperbolehkan mengambil foto sebelum sidang dimulai. Pembatasan ini dilakukan untuk menjaga agar proses persidangan tidak terganggu oleh aktivitas peliputan.
Sidang yang dimulai pada pukul 14.30 WITA ini menghadirkan saksi inti berinisial MR, yang bekerja sebagai operator ekskavator di lokasi tambang. Dalam kesaksiannya, MR menyatakan bahwa ia bekerja atas instruksi seorang bernama N dan menerima gaji dari seseorang berinisial F melalui N. MR mengaku hanya berkomunikasi dengan N terkait aktivitas kerjanya dan tidak mengenal sosok F lebih lanjut.
Lebih lanjut, MR mengungkapkan bahwa saat bekerja, ia mengoperasikan ekskavator untuk mengisi muatan dump truk dengan kapasitas sekitar 9-10 ton per unit. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak mengetahui kepemilikan alat berat maupun tambang tempatnya bekerja, hanya mengikuti arahan dari seorang pengawas lapangan berinisial HK. Pada hari pertama bekerja, MR menyebut bahwa terdapat enam unit dump truk di lokasi, dan dirinya mengisi muatan sesuai arahan HK. Menurut MR, muatan tersebut memiliki surat jalan yang menyertakan izin dari PT SBN, namun dirinya tidak mengetahui identitas pemilik tambang atau perizinan lengkap lainnya. MR mengaku baru bekerja dua hari sebelum lokasi tambang akhirnya digerebek oleh pihak berwenang.
Dalam proses persidangan, pihak kuasa hukum terdakwa, Robert Hendra Sulu, mengangkat nama-nama yang diduga kuat terlibat dalam aktivitas tambang tersebut namun tidak terdaftar sebagai saksi maupun terdakwa. Robert menduga adanya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam pendanaan dan pengelolaan tambang namun hingga saat ini belum tersentuh hukum. “Kami meminta kepada majelis hakim agar menghadirkan nama-nama yang diduga kuat sebagai aktor utama di balik kasus ini untuk memberikan kesaksian,” ujar Robert Hendra Sulu di depan persidangan.
Robert juga menekankan pentingnya kehadiran para aktor tersebut dalam pengungkapan kasus ini, khususnya untuk mengungkap mekanisme pembiayaan serta perizinan yang diperlukan dalam operasional tambang tersebut. โTidak mungkin aktivitas sebesar ini dilakukan tanpa dukungan pembiayaan yang jelas, serta adanya izin resmi. Kami berharap majelis hakim bisa bijaksana dalam menyikapi permintaan ini. Hakim harus membuka mata hati dan nurani demi menegakkan keadilan,โ ungkapnya.
Setelah mempertimbangkan permintaan tersebut, majelis hakim PN Tanjung akhirnya memutuskan untuk memanggil pihak-pihak yang disebutkan dalam kesaksian saksi pada sidang berikutnya. Majelis hakim menyatakan sidang akan dilanjutkan pada Rabu dan Kamis mendatang, 20-21 November 2024, dengan agenda menghadirkan sejumlah nama yang muncul dalam persidangan untuk memperdalam proses hukum kasus ini.
Dengan keputusan tersebut, banyak pihak berharap agar persidangan ini dapat memberikan kejelasan mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tambang ilegal batu emas hitam di Bintang Ara ini.
Sumber: GWI