‘Ada Uang, Ada Suara’, Apa yang Salah?

Politik dan Demokrasi/Opini Publik atau Pendidikan politik

TintaJurnalisNews -Pemilu dan Pilkada di Indonesia sering kali diwarnai oleh fenomena politik uang. Istilah “ada uang, ada suara” menjadi ungkapan yang begitu akrab di telinga masyarakat, bahkan kerap kali dilantunkan dalam lagu-lagu satir.

Dalam berbagai kesempatan, praktik ini bukan hanya menjadi pembicaraan sehari-hari, tetapi juga diabadikan sebagai bagian dari budaya politik yang seolah sulit terpisahkan dari proses pemilihan umum.

Namun, di balik popularitas frasa tersebut, muncul pertanyaan yang mendasar: Mengapa politik uang seakan menjadi “tradisi” dalam Pemilu dan Pilkada di Indonesia?

Apakah ini mencerminkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang bersih dan jujur, atau lebih kepada pergeseran nilai-nilai politik di tingkat akar rumput?

Di berbagai daerah, laporan mengenai praktik politik uang tak jarang terdengar, meski sudah ada aturan yang tegas mengenai pelarangan tindakan ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah berulang kali menekankan bahwa politik uang merusak integritas demokrasi dan bertentangan dengan semangat pemilu yang adil.

Meski demikian, realitanya di lapangan sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Pengetahuan masyarakat mengenai dampak buruk politik uang belum sepenuhnya mengubah perilaku di saat pemilihan.

Praktik ini tidak hanya menodai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga berpotensi menjerumuskan pemilih pada pilihan yang tidak didasarkan pada kualitas calon pemimpin, melainkan iming-iming materi sesaat.

Selain itu, kesadaran politik yang masih rendah serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang menjadi tantangan besar dalam menciptakan Pemilu dan Pilkada yang benar-benar bebas dari intervensi uang.

Pada akhirnya, ungkapan “ada uang, ada suara” yang seolah mengakar di masyarakat perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.

Pendidikan politik yang berkesinambungan dan pengawasan yang ketat harus terus dilakukan untuk meminimalisasi praktik ini.

Hanya dengan demikian, Pemilu dan Pilkada di Indonesia dapat kembali kepada esensinya sebagai ajang memilih pemimpin yang benar-benar berkompeten, bukan mereka yang membeli suara rakyat.

(Edo Jurnalis)