Diam Bukan Lemah: Ketika Ketenangan Jadi Bentuk Perlawanan Terhormat

Opini Tinta Jurnalis News

TINTAJURNALISNEWS —Di tengah derasnya arus opini dan maraknya pembunuhan karakter di ruang publik, muncul sebuah narasi reflektif yang menyentuh banyak hati. Kalimat sederhana namun sarat makna ini kini ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial:

“Ceritakan saya seburuk-buruknya, sampai amalmu habis. Membunuh karakterku tidak akan menaikkan derajat. Mungkin kamu sedang menanam bibit petaka ke dirimu sendiri.”

Ungkapan tersebut menggambarkan suara hati seseorang yang memilih diam dan tenang di tengah gelombang fitnah. Dalam dunia yang sering menilai tanpa memahami, ketenangan justru menjadi bentuk perlawanan paling elegan dan bermartabat.

Lebih lanjut, narasi itu juga menegaskan sikap untuk tetap menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura, mencari pembenaran, atau mengemis pengakuan dari orang lain.

“Saya belajar lebih tenang, dan menikmati hidup dengan proses tanpa harus proses. Saya tidak takut untuk dibenci, dan tidak pernah mengeluh seperti sukai. Saya hanya perlu jadi diri sendiri, tanpa harus bersabar.”

Pesan sederhana ini kini menjadi bahan refleksi banyak orang. Di tengah masyarakat yang mudah tersulut oleh komentar negatif dan perdebatan di dunia maya, kalimat ini mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa keras seseorang membalas, melainkan seberapa dalam ia mampu menahan diri dengan tenang.

Dalam konteks sosial hari ini, narasi tersebut menjadi pengingat bahwa membalas fitnah dengan ketenangan bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan. Sebab sejatinya, kebaikan tidak perlu berteriak, dan keburukan akan tenggelam oleh waktu.