SPPG Jalan Adi Sucipto

TINTAJURNALISNEWS —Dugaan pelanggaran hak tenaga kerja kembali mencuat di Kota Tanjungpinang. Seorang pekerja di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Jalan Adi Sucipto Tanjungpinang, Christina, mengaku tidak menerima gaji sesuai dengan kesepakatan awal
Sementara, anaknya yang bekerja sebagai petugas keamanan di tempat yang sama mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa alasan yang jelas.
Christina menuturkan, sejak awal ia dijanjikan menerima gaji sebesar Rp2,7 juta per bulan, namun hingga kini hanya menerima Rp1,7 juta.
“Dari awal dijanjikan Rp2,7 juta, tapi waktu terima gaji cuma Rp1,7 juta. Katanya sisanya nanti ditransfer karena aturan yayasan,” ungkap Christina kepada Tinta Jurnalis News, Senin (3/11/2025).
Tidak hanya itu, anak Christina yang juga bekerja di bawah naungan SPPG disebut mengalami PHK secara sepihak tanpa surat pemberitahuan resmi. Kasus ini pun mendapat perhatian masyarakat yang mendesak agar Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Tanjungpinang segera turun tangan.
Sebagai instansi yang berwenang dalam pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan, Disnaker Kota Tanjungpinang diminta segera melakukan pemeriksaan dan mediasi resmi terkait dugaan pelanggaran ini.
Ketua Lami Kepri, Datok Agus Ramdah menilai lemahnya pengawasan di lapangan membuat praktik ketidakadilan terhadap pekerja masih sering terjadi.
“Disnaker jangan hanya menunggu laporan. Kasus seperti ini harus segera diinvestigasi. Panggil pihak yayasan, periksa dokumen perjanjian kerja, dan pastikan gaji dibayar sesuai janji,” ujarnya.
Ia juga meminta agar pengawas ketenagakerjaan tingkat provinsi ikut turun langsung untuk memastikan tidak ada praktik ketidakadilan terhadap pekerja sektor sosial dan pelayanan publik seperti di SPPG.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terdapat sejumlah pasal yang mengatur hak pekerja dan kewajiban pemberi kerja, di antaranya:
Pasal 88A ayat (1): “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 90 ayat (1): “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.”
Pasal 155 ayat (1): “Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.”
Tindakan pengelola SPPG atau yayasan yang membayar upah di bawah kesepakatan dan melakukan PHK tanpa prosedur dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Disnaker Kota Tanjungpinang memiliki kewenangan untuk:
1. Melakukan mediasi antara pihak pekerja dan pihak yayasan.
2. Memeriksa dokumen perjanjian kerja dan bukti pembayaran upah.
3. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pemberi kerja yang melanggar ketentuan upah dan PHK.
4. Meneruskan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan.
Langkah-langkah tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak SPPG Tanjungpinang maupun yayasan pengelola belum memberikan tanggapan atas laporan dugaan pelanggaran tersebut.
Sementara itu, masyarakat dan Christina menunggu langkah konkret dari Disnaker untuk menyelidiki kasus ini secara terbuka dan memastikan hak-hak pekerja dipenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Jangan sampai lembaga pelayanan publik seperti SPPG justru mengabaikan hak pekerjanya. Kami menunggu Disnaker turun langsung dan menegakkan aturan,” pungkas Christina.
Tinta Jurnalis News akan terus memantau tindak lanjut dari Dinas Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang terhadap laporan ini, serta memberikan ruang bagi pihak yayasan dan SPPG untuk menyampaikan klarifikasi secara resmi.

Part II
